Selasa, 29 November 2011

mengejar cinta dan cita cita

Mengejar Cita-Cita dan Cinta di Negeri Van Oranje

Posted on May 31, 2009

Judul         :  Negeri Van Oranje
Penulis      :  Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit    :  Bentang, 2009
Tebal        : viii + 478 halaman
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Demikian pesan bijak yang sering kita dengar. Maksudnya dalam mengejar ilmu, kita harus memperluas wawasan dan pandangan. Jika perlu ke luar negeri dan jangan seperti katak dalam tempurung.

Pada abad lalu, pada awal abad ke-20, negeri Belanda menjadi negara tujuan untuk menimba ilmu. Para lulusan STOVIA, jika ingin meraih gelar dokter penuh harus melanjutkan ke Belanda. Jika mereka tidak melanjutkan, maka hanya mendapatkan gelar ‘dokter Jawa’ yang tugasnya tak lebih sebagai mantri suntik.
Beberapa founding-father kita pun merupakan lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah di Belanda. Ada pula yang pernah mencicipi sekolah di negeri seberang lautan tersebut. Sebut saja, Bung Hatta yang lulusan Rotterdam, Tan Malaka, alumni sekolah guru di Haarlem, G S.S.J. Ratulangie lulusan Amsterdam atau Sutan Sjahrir yang pernah kuliah di Amsterdam dan Leiden.
Buku Negeri van Oranje ini berkisah tentang petualangan lima mahasiswa Indonesia (empat pria, satu perempuan) yang dituturkan dalam bentuk novel (fiksi) dengan jalinan kisah memikat. Namun, unsur non fiksi yang berupa data menarik, baik informasi, tips maupun data sejarah dalam buku ini tak dapat diabaikan begitu saja karena justru di situlah letak kekuatannya.
Kisah diawali dengan prolog yang berisi bagian dari salah satu bab-bab akhir buku ini yaitu De Waarheid. Lalu cerita berjalan mundur. Mulai dari perkenalan tokoh-tokoh utama secara tak sengaja yaitu Iskandar alias Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang di Amersfoort yang akhirnya membentuk Aagaban (Aliansi Amersfo[o]rt GAra-gara BAdai di Netherlands), alasan mereka kuliah di Belanda hingga petualangan mereka di setiap kota di Belanda dan Eropa. Bumbu humor dan cinta ditaburkan di beberapa bab (jumlah semuanya 26 bab) yang membuat kita betah untuk terus membaca dan ingin mengetahui akhir kisah petualangan mereka.
Kelima tokoh utama novel ini disatukan oleh rokok kretek. Ketika itu mereka terjebak di tengah cuaca buruk di Amersfoort (bukan Amersfort) dan kehabisan rokok. Aroma rokok kretek lah yang menuntun mereka untuk saling berkenalan.
Iskandar alias Banjar kuliah master bisnis di Rotterdam. Eksekutif muda asal Banjarmasin ini rela meninggalkan kemewahan di tanah air, demi menjawab tantangan sahabatnya, Goz yang ‘mempertaruhkan’ adik perempuannya (hal.16). Sementara itu Wicak Adi Gumelar, anak Banten, aktivis LSM kehutanan ini ‘terpaksa’ mengambil S2 di Wageningen lantaran khawatir diciduk dan dibunuh oleh pihak-pihak yang tak menyukai sepak-terjangnya dalam urusan illegal logging (hal.22).
Lalu Firdaus Gojali Muthoyib alias Daus, putera Betawi asli. Lulusan Fakultas Hukum UI yang menjadi PNS di Departemen Agama ini nekad melamar beasiswa S2 hukum HAM di Utrecht demi gengsi di antara teman se-almamaternya (hal.27) Belakangan diketahui berkat surat rekomendasi teman satu pesantren engkongnya yang berkop garuda emas, Daus lolos seleksi mendapatkan beasiswa. Jelas saja lolos karena teman sepesantren engkongnya adalah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang ketika itu menjabat Presiden RI (hal.168).
Lain pula dengan Anandita Lintang Persada, lulusan fakultas sastra. Gadis penari yang berlatar-belakang keluarga Minang ini mendapatkan hadiah ulang tahun kedua puluh lima berupa polis asuransi. Ia langsung memilih program master European Studies di Leiden demi mengejar cita-cita dan cinta (hal.32). Tokoh terakhir, Garibaldi Anugraha Atmadja alias Geri. Pria kelahiran Bandung yang memiliki orang tua kaya pasca krisis moneter di Indonesia beberapa tahun silam (hal.34). Dari semua tokoh, tokoh Geri yang dianggap senior lantaran dia tinggal lebih lama di Belanda. Dia berkuliah di Den Haag dan tinggal di apartemen mewah.
Meskipun mengasyikkan, namun salah ejaan dalam buku ini terasa mengganggu mata. Apalagi jika para penulisnya dapat dikatakan tinggal cukup lama di Belanda. Misalnya ejaan untuk kota Amersfoort, ditulis dengan dua o (hal.6), ejaan kopen ditulis dengan satu o tapi diucapkan panjang/dengan dua o (hal.50), ikan haring, ditulis dengan satu a (hal.71), tien uur (jam sepuluh), bukan huur (hal.83), kortingkaart, hanya dengan satu o (hal.89), Witte Singel (bukan single) yang artinya parit (hal.77), grote bibliotheek, ditulis dengan dua e (hal.176), schrijftelijk, dengan tambahan h (hal.324).
Untungnya kesalahan ejaan itu agak tertutupi dengan melimpahnya beragam tips untuk bertahan hidup di Belanda. Mulai dari tips bagi pecandu rokok, meski sekarang harus berhati-hati dengan larangan merokok di ruang publik di Belanda (hal.9), tips belanja murah (hal 65), tips bersosialisasi dengan orang Belanda (hal.85), tips mencari kerja sambilan (hal.129), tips kegiatan murah-meriah untuk mengisi waktu luang (hal.139), agenda perayaan (hal.163), tips tentang sepeda (hal.170), tips menghadapi birokrasi (hal.242), tips mencari kamar atau rumah (hal.279), hingga tips Eurotrip (hal.405)
Selain itu uraian sekilas sejarah di setiap kota yang dikunjungi juga begitu menarik. Persis gambaran buku panduan wisata. Misalnya uraian sejarah perpustakaan kerajaan (Koninklijke Bibliotheek) di Den Haag yang didirikan oleh Lodewijk Napoleon, saudara Napoleon Bonaparte (hal.50),  lalu sejarah universitas pertama di Belanda yaitu universiteit Leiden yang didirikan Willem van Oranje sebagai hadiah bagi warga Leiden (hal.71)
Nama van Oranje inilah yang dijadikan judul buku ini Negeri van Oranje. Nama sebenarnya adalah Willem van Nassau. Ia mewarisi wilayah Orange (Oranje) di Prancis Selatan pada 1544, dari sepupunya René van Chalon. Sejak itu dia mendapatkan gelas van Oranje. Sebenarnya Willem bukan seorang raja melainkan stadhouder (wali negara) untuk Holland, Zeeland dan Utrecht karena pada masa itu yang berkuasa adalah Raja Filips II dari Spanyol.
Kisah kocak juga kita temui dalam buku ini. Misalnya ketika Wicak, Daus, dan Lintang berada di kawasan lampu merah (red light district) Amsterdam. Daus yang menanggapi tantangan Wicak untuk mendekati salah seorang PSK berwajah eksotis mendadak mengeluarkan keringat dingin lalu kabur. Ternyata gadis yang mengaku bernama Desiree itu berasal dari Indonesia dan satu kampung dengan encangnya di Condet (hal.106)
Kisah persahabatan para tokoh utama buku ini kemudian berubah menjadi cinta segi empat, antara Lintang dengan ketiga pria yang berupaya merebut hati Lintang. Ketiga tokoh pria ini ‘mengambil inisiatif’ setelah Lintang putus hubungan dengan Jeroen, seorang pria Belanda.
Lalu bagaimana satu tokoh pria lainnya? Rupanya, salah satu tokoh ‘tersingkir’ dari persaingan ketika diketahui bahwa dia adalah seorang gay. Siapa saja yang diam-diam mencintai Lintang dan menjadi pria yang beruntung merebut cinta Lintang?, Tokoh siapa yang ternyata seorang gay?, dan bagaimana akhir perjuangan dan petualangan kelima mahasiswa Indonesia ini? Tentu akan lebih mengasyikkan jika Anda membacanya sendiri.
Buku ini menarik dan berguna bagi mereka yang hendak menuntut ilmu ke negeri Belanda. Semacam buku panduan pengantar alternatif yang berisi berbagai tips praktis berbalur cerita. Sementara itu bagi mereka yang pernah menuntut ilmu di negeri keju, buku ini memberikan kenangan dan nostalgia sambil membayangkan tempat, aroma, makanan,  cuaca, orang-orang dan ‘kegilaan’ yang pernah dilakukan plus suka-duka selama menuntut ilmu di sana. Veel plezier!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar